Sengketa antara PTSUM dengan DJP kembali menyoroti pentingnya konsistensi dalam penentuan perusahaan pembanding pada analisis kewajaran transaksi afiliasi. PTSUM merupakan perusahaan yang bergerak di bidang pembudidayaan ayam ras pedaging menghasilkan ayam hidup (live bird) melalui pola kemitraan dengan peternak plasma dan company farm yang dimiliki serta dikelola sendiri.
Dalam menjalankan kegiatan usahanya, seluruh transaksi afiliasi yang dilakukan oleh PTSUM berlangsung dengan pihak-pihak afiliasi yang berdomisili di Indonesia. PTSUM membeli dari pihak afiliasi Sarana Produksi Peternakan ("Sapronak") yang terdiri dari anak ayam yang baru berusia satu hari setelah menetas (Day Old Chick / DOC), pakan ternak, obat-obatan (seperti disinfektan dan vaksin) serta peralatan peternakan.
Permasalahan muncul ketika DJP tidak mengakui empat dari delapan perusahaan pembanding yang digunakan oleh PTSUM. Metode transfer pricing yang telah dipilih oleh PTSUM atas Transaksi Afiliasi diuji dengan metode Transactional Net Margin Method ("TNMM Method") sebagai metode transfer pricing yang paling sesuai dengan Mark-up on Total Cost ("MTC") sebagai indikator tingkat laba. Dalam perhitungan tingkat laba wajar (mark-up on total cost). Keempat pembanding yang dibuang oleh DJP adalah AKF Co. Ltd, NS Co. Ltd, VPT Company, dan KCF Co. Ltd. Menurut DJP, perusahaan-perusahaan tersebut tidak sebanding dengan PTSUM karena memiliki jenis usaha yang berbeda dengan PTSUM, yakni bergerak di bidang produksi pakan ternak dan telur ayam.
Penolakan ini berimplikasi signifikan terhadap hasil analisis kewajaran laba. Berdasarkan data keuangan perusahaan pembanding final yang digunakan oleh PTSUM untuk periode 2016–2018 (multi-year), diperoleh hasil mark-up on total cost (MTC) dengan kuartil pertama (Q1) sebesar 1,91%, kuartil kedua atau median (Q2) sebesar 3,28%, dan kuartil ketiga (Q3) sebesar 4,91%. Namun, setelah DJP mengeluarkan empat pembanding tersebut, hanya tersisa yakni DV Corporation, DFT Co. Ltd., VJS Company dan JPF Sdn Bhd. Akibatnya, rentang interkuartil mengalami perubahan signifikan, nilai kuartil pertama (Q1) meningkat menjadi 4,33%, kuartil kedua atau median (Q2) menjadi 5,46%, dan kuartil ketiga (Q3) naik hingga 6,78%.
Kenaikan rentang interkuartil tersebut berimplikasi langsung terhadap perhitungan laba wajar. Rasio MTC PTSUM tahun 2019 tercatat sebesar 2,67%, sedangkan median (Q2) hasil pengujian DJP sebesar 5,46%, sehingga terdapat selisih 2,78%. Perbedaan ini menjadi dasar DJP untuk melakukan koreksi positif atas laba operasi PTSUM dengan nilai Rp112.373.654.000,00. PTSUM menilai tindakan tersebut tidak mencerminkan penerapan prinsip kewajaran yang objektif, karena DJP hanya mempertahankan pembanding yang memiliki tingkat keuntungan laba yang tinggi saja.
Majelis melakukan analisis mendalam atas seluruh alat bukti dan argumentasi kedua belah pihak. Dalam pertimbangannya, Majelis menilai bahwa terdapat inkonsistensi dalam kriteria penerimaan pembanding yang digunakan oleh DJP. Pertama, DJP menolak tiga perusahaan pembanding yaitu NS Co. Ltd, VPT Company, dan KCF Co. Ltd dengan alasan bahwa ketiganya bergerak di bidang usaha makanan ternak, sehingga dianggap tidak sebanding dengan kegiatan usaha PTSUM. Namun demikian, DJP justru menerima beberapa perusahaan lain yang memiliki profil usaha serupa, seperti DV Corporation dan DFT Co. Ltd., yang juga bergerak di bidang pembudidayaan ayam, penyediaan daging ayam, serta produksi pakan ternak. Hal ini menunjukkan adanya inkonsistensi dalam kriteria penerimaan pembanding yang digunakan oleh DJP.
Kedua, DJP menolak AF Co. Ltd., dengan alasan bahwa perusahaan tersebut bergerak di bidang produksi telur ayam, sehingga dinilai tidak sebanding. Namun, di sisi lain, DJP justru menerima VJS Company dan DV Corporation sebagai pembanding final, padahal kedua perusahaan tersebut memiliki kegiatan usaha yang jauh lebih beragam. DV Corporation, misalnya, tidak hanya bergerak di bidang peternakan unggas, tetapi juga di bidang peternakan sapi dan babi, pengolahan makanan, serta memiliki merek dagang sendiri. Sementara itu, VJS Company selain bergerak di bidang unggas juga berfokus pada pengolahan dan perdagangan daging segar, termasuk daging sapi dan babi.
Hal ini semakin memperkuat penilaian bahwa DJP tidak menerapkan kriteria kesebandingan secara konsisten, melainkan cenderung melakukan seleksi berdasarkan tingkat laba yang dihasilkan oleh perusahaan pembanding. Terbukti, DJP menolak AKF Co. Ltd., NS Co. Ltd., VPT Company, dan KCF Co. Ltd., yang masing-masing memiliki weighted average mark-up on total cost (2016–2018) relatif rendah, yakni 0,39%, 1,47%, 2,06%, dan 2,36%. Sebaliknya, DJP hanya mempertahankan empat perusahaan dengan tingkat profitabilitas yang lebih tinggi, DV Corporation, DFT Co. Ltd., VJS Company, dan JPF Sdn. Bhd. dengan weighted average MTC masing-masing sebesar 7,48%, 6,54%, 4,20%, dan 4,37%. Praktik selektif seperti ini menunjukkan adanya indikasi cherry picking dalam pemilihan perusahaan pembanding.
Dengan mempertimbangkan seluruh fakta dan bukti yang diajukan, Majelis berpendapat bahwa alasan penolakan DJP terhadap empat perusahaan pembanding tidak dapat dipertahankan. Majelis mengabulkan seluruh permohonan banding PTSUM dan membatalkan Koreksi Penyesuaian Fiskal Positif Lainnya sebesar Rp112.373.654.000,00.
Dalam kasus ini, Majelis memberikan perhatian besar terhadap pentingnya konsistensi dalam penerapan kriteria kesebandingan pada analisis transfer pricing. Putusan ini menegaskan bahwa proses seleksi perusahaan pembanding tidak boleh dilakukan secara selektif (cherry picking) dengan hanya mempertimbangkan kondisi tertentu dan mengabaikan informasi lain yang relevan. Sebaliknya, penentuan pembanding harus didasarkan pada kesamaan karakteristik usaha yang relevan serta dapat dipertanggungjawabkan secara ekonomis.
Bagi DJP, putusan ini menjadi pengingat bahwa setiap koreksi atas transaksi afiliasi harus didukung oleh metodologi analisis yang transparan, konsisten, dan dapat diuji. Penolakan terhadap pembanding tanpa dasar objektif justru dapat melemahkan posisi otoritas pajak di hadapan Majelis.
Sementara bagi Wajib Pajak, kemenangan PTSUM menegaskan pentingnya memiliki Transfer Pricing Documentation (TP Doc.) yang lengkap, kredibel, dan berbasis bukti empiris. Dokumentasi yang komprehensif menjadi alat pembuktian objektif bahwa metode dan pembanding yang digunakan telah memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (PKKU) secara menyeluruh.